Bukan, ini bukan tentang Inside Man-nya Denzel Washington yang populer itu. Tapi tentang mini-series Inside Man yang dirilis September 2022. Pertama rilis di BBC One, kemudian di Netflix. Saya sendiri baru menontonnya di Netflix 2 hari lalu.
Gak ada alasan khusus menonton mini-series 4 episode ini selain sebagai ‘teman makan’. Secara total, durasi Inside Man adalah sekitar 4 jam dengan masing-masing episode 1 jam.
Sebelum lanjut, disclaimer dulu ya. Tulisan ini akan mengandung spoiler, sebaiknya gak melanjutkan baca kalau kalian menghindari bocoran-bocoran.
Gara-gara flashdisk
Seorang vikaris, Harry Watling, terjebak dalam situasi yang sulit. Harry dititipkan sebuah flashdisk (yang ternyata berisi video porno anak-anak) oleh Edgar, seorang pria gereja yang labil secara mental. Edgar ingin menyembunyikan flashdisk tersebut dari ibunya.
Namun, tanpa disangka, keberadaan flashdisk tersebut berbuntut (sangat) panjang. Berawal ketika Janice, guru les matematika Ben, anak Harry, datang ke rumah.
Janice bilang ke Ben “harus ada modul baru yang di-download nih”. Tapi, karena internet rumah bermasalah, modul itu akhirnya dipindahkan dari laptop Janice melalui flashdisk…. iya, flashdisk-nya Edgar, yang tanpa sengaja ditemukan Ben di ruang tamu rumahnya.
“(Pindahkan) pakai ini saja,” kata Ben menyerahkan flashdisk itu ke Janice.
Tiba-tiba Janice tampak syok ketika melihat file di dalamnya. Sebelum Janice membuka mulut, Ben langsung memberi penjelasan bahwa semua file di flashdisk tersebut adalah miliknya (yang sebenarnya bukan). Pengakuannya hanya demi diberi uang 70 Pound oleh ayahnya.
Janice lantas bicara 4 mata dengan Harry. Harry menjelaskan flashdisk itu sebenarnya bukan milik Ben, bukan pula milik dia, melainkan milik seorang pria di gereja yang dia tak ingin sebut namanya. Pusing gak tuh si Janice. Janice jadinya gak percaya gitu aja, apalagi dia dengar sendiri Ben udah bikin pengakuan.
Keduanya berdebat panjang sampai adu fisik. Singkat cerita, Harry kemudian mengurung Janice di basement hanya agar Janice tak berkoar-koar atau lapor polisi tentang ‘Ben memiliki video porno anak-anak’.
Baca juga: The Spy, Series Netflix Tentang Mata-mata Terbaik Israel
Terpidana Mati dan Jurnalis Investigasi
Seorang jurnalis investigasi, Beth Davenport, tiba-tiba menerima foto blur dari Janice. Mereka awal berkenalan di sebuah insiden di kereta. Beth curiga sesuatu terjadi karena sangat jarang Janice yang mengirim pesan duluan, mana isinya membuat bertanya-tanya. Setelah dihubungi balik, tak ada respons sama sekali dari Janice.
Beth kemudian mendatangi seorang terpidana mati yang juga merupakan mantan profesor kriminologi, Jefferson Grieff, untuk mencari clue tentang Janice. Grieff memang terkenal bisa memecahkan kasus meski dari dalam penjara.
Fyi, Grieff dihukum mati karena membunuh sekaligus memutilasi istrinya. Sampai saat ini, keberadaan kepala istrinya disembunyikan di mana, belum diketahui. Grieff ogah mengungkapnya.
Petunjuk demi petunjuk dari Grieff membawa Beth pergi ke apartemen kosong Janice. Di sana, tiba-tiba dia bertemu dengan Mary, istri Hary, yang baru saja menaruh barang-barang Janice, termasuk laptop, untuk menghindari jejak kalau-kalau polisi menemukan barang-barang itu di rumah mereka.
Beth curiga pada gerak-gerik dan jawaban-jawaban Mary. Belum sempat mendapat titik terang tentang Janice dari Mary, Mary keburu tertabrak mobil saat coba kabur. Dan meninggal seketika.
Berbekal petunjuk di handphone Mary, Beth berhasil menemukan rumah Harry. Dia datang di waktu yang tepat saat Harry sedang di posisi akan membunuh Janice dengan palu.
Pertanyaan Gak Terjawab
Setidaknya ada dua pertanyaan yang belum terjawab sampai episode 4 berakhir. Pertama tentang di mana letak potongan kepala istri Grieff. Kedua tentang siapa sebenarnya pemilik video porno anak-anak itu. Saya curiga kalau-kalau video-video itu bukan milik Edgar, tapi milik ibunya. Cukup mencurigakan soalnya. Hehe.
Secara umum saya menikmati mini-series ini sebagai ‘teman makan’. Gak kurang, gak lebih.
Kemunculan David Tennant sebagai Harry Watling mengingatkan saya pada series Broadchurch yang selalu jadi salah satu series favorit. Kalo kalian suka yang berbau investigasi sekaligus disuguhi pemandangan alam yang super cantik dan aksen British yang kental, Broadchurch jawabannya.
Baca juga: Series The Good Place: Manusia, Alam Baka, dan Lelucon Renyah
Penutup
Jika David Tennant mengingatkan saya akan Broadchruch, series Inside Man sendiri mengingatkan saya akan salah satu ketakutan saya selama ini: berbuat buruk tanpa kita niat melakukannya. Bisa dibilang ada di situasi dan waktu yang salah.
Yaa meskipun dalam series ini gak bisa dibilang ‘gak sengaja’ semua sih yang dilakuin Harry dkk itu. Cuma, again, entah kenapa ketakutan itu yang melintas di pikiran.
Kalian sering kepikiran gak sih, “udah-lah hidup tuh biasa-biasa aja”. Kalau lagi gak bisa berbuat baik, ya minimal gak berbuat jahat.
Biasanya gara-gara merasa jadi orang ‘biasa-biasa aja’ ini, kita juga jadi merasa udah bisa mengukur resiko apa yang mungkin terjadi pada kita di masa depan. “Gak mungkin lah gue bunuh orang”, “gak mungkin lah gue jual narkoba”, “gak mungkin gue korupsi”, dan sejenisnya.
Pada akhirnya, who knows? Kita cuma bisa mengukur, memperkirakan.
Kita semua punya karma buruk di masa lalu, yang bisa berbuah kapan pun, dalam bentuk dan situasi paling ‘ajaib’ yang gak masuk di akal. Tanpa bisa diduga, tanpa terukur sebelumnya.
Inside Man, mengingatkan saya akan ketakutan itu.
Jika merasa artikel ini bermanfaat, silakan di-share ya. Sebaliknya, jika ada yang kurang berkenan atau ada kesalahan informasi, silakan hubungi email atau sosial media tertera.