Gaji pertama saya Rp3 jutaan. Kisaran UMR Jakarta kala itu.
Pulang kerja di tanggal gajian, saya buru-buru pergi ke ATM buat cek, udah masuk belum uangnya. Maklum, belum jaman mobile banking mobile banking-an.
Salah satu barang yang saya beli pake gaji pertama adalah koper.
“Nanaonan ai maneh malah meli koper,” mungkin itu yang ada di pikiran orang tua saya.
Gaji belum seberapa, terus gak ada rencana ke mana-mana pula. Tiba-tiba beli koper. Mudik juga gak pernah jauh-jauh karena keluarga mayoritas ngumpul di Jabodetabek.
“Bodo amat sama kaum mendang-mending, kan gaji gue,”. Gitu kurang lebih pembelaan saya. Impulsif. Terasa puas.
Tapi Puji Tuhan, setelah itu, gara-gara kerjaan, saya pergi ke puluhan kota, belasan negara. Free. Koper itu pun, kepake banget.
Sudut Pandang Soal Uang
Balik lagi soal “impulsif” tadi, tiap orang punya rencana beda-beda sama uang yang mereka punya. Itu normal, gak ada yang akan disebut “gila” (atau norak) karenanya.
Saya mau bahas sedikit yang ada di buku The Psychology of Money. Salah satu yang ditekankan di buku karya Morgan Housel itu adalah tiap keputusan yang diambil seseorang atas uang mereka, itu sangat dipengaruhi oleh banyak hal.
Sisi lain, kita sama sekali gak bisa paksain sudut pandang kita akan uang diterapkan ke sudut pandang orang lain. Gak bisa.
Btw, sebelum lanjut, mau info aja kalau buku ini ringan buat dibaca, 224 halaman aja. Bahasa Inggrisnya juga lumayan sederhana gak terlalu banyak teori-teori belibet. Ngalir aja, kayak didongengin.
Taun lalu saya beli via Kindle kalo dirupiahkan sekitar Rp170.000. Biasanya harga buku gak banyak berubah. Layak dibaca pokoknya.
Ok lanjut.
Setiap kita punya latar belakangan yang beda-beda. Lahir di tahun beda-beda. Pengalaman hidup yang beda-beda.
Hal-hal itu yang akhirnya mengantar ke gimana kita memandang semesta bekerja. Termasuk soal uang.
Mereka yang mati-matian pertahanin cash flow pas krisis 1998 pasti punya view yang beda soal uang dibanding dengan mereka yang baru lahir 2000an. Meskipun, katakanlah, dua-duanya dengan background ekonomi atau pendidikan yang sama.
Contoh lain, Si A yang PNS mungkin gak tau gimana rasanya jadi Si B yang kerja jadi ojek online selama pandemi. Sebelum pandemi aja si B hidup dari order ke order, begitu pandemi, ordernya aja gak ada, trus piye?
Nah, pasti dua orang tersebut punya pandangan beda soal uang, soal gimana mereka ngabisin uang mereka. Dan contoh-contoh kasus lainnya.
Baca juga: Review Novel Hitam 2045
Perbedaan antar kita dalam ngeliat uang bekerja gak berarti bikin yang satu lebih pinter dari yang lain. Tapi se-simple karena kita melewati pengalaman yang berbeda dalam hidup yang memicu sudut pandang berbeda itu.
“Pengalaman pribadi lo sama uang bisa jadi nyumbang 0,00000001% aja sama apa yang terjadi di dunia ini. Tapi, itu bisa jadi sekitar 80% dari cara lo ngeliat gimana semesta bekerja” tulis buku itu.
Kita memandang hidup, khusunya uang, dengan lensa yang beda-beda. Kalo lensa yang kita pake biru, kita gak bisa berasumsi kalo orang lain ngeliat warna biru juga sementara mereka aja pake lensa warna merah.
Baca juga: Membaca Ulang Novel Supernova Karya Dee Lestari
Balik ke kasus saya beli koper tadi, saya merasa keren aja akhirnya punya koper sendiri. Menurut saya, itu adalah keputusan “terbaik” saya di momen tersebut.
Jika saya yang sekarang disuruh milih beli koper atau yang lain dengan gaji pertama saya, bisa jadi keputusan saya berbeda. Saya yang sekarang adalah saya yang sudah melewati momen dan pengalaman tertentu yang belum saya alami ketika saya fresh graduate dulu.
Salah satu tujuan buku The Psychology of Money emang buat bikin perasaan kita lebih baik soal uang dan kita jadi less judgmental tentang gimana orang lain ngabisin uang mereka.
Saya berencana membahas bagian lain dari buku ini di kesempatan berikutnya karena cukup banyak yang bisa kita ambil di dalamnya. Tungguin ya!
Terima kasih banyak sudah membaca artikelnya sampai ujung. Jika merasa isinya bermanfaat, silakan di-share ya. Sebaliknya, jika ada yang kurang berkenan atau ada kesalahan informasi, silakan hubungi email atau sosial media tertera.
Sumber cover photo: Alexander Grey on Unsplash