Sebelum menulis lebih panjang, mari luruskan dulu kalau “Lebaran” yang saya bahas di sini lebih pada tradisi yang melingkupinya, seperti mudik, makan ketupat, kumpul keluarga besar, bagi-bagi uang ke keponakan, dll. Pokoknya momen-momen lebaran di luar konteks agama. Benarkah Lebaran ditunggu oleh semua orang?
Hari ini, saya baca tweet akun @aliralira yang menuliskan bahwa dia nggak pernah menikmati perayaan Lebaran. Dia bahkan trauma merayakan Lebaran. Dia bilang nggak semua orang ingin merayakan hari penting dengan cara yang asing.
Pro dan kontra lebaran
Ketika baca tweet itu (sebelum baca komennya), saya pikir “wah.. tweet yang cukup kontroversial. Pasti balesannya bakal banyak yang nggak setuju atau malah menghujat”. Tapi, ternyata banyak juga lho mereka yang setuju dengan “nggak suka Lebaran”, sambil mengemukakan alasan masing-masing.
Beberapa alasan mereka di antaranya:
1. Males ditanya macem-macem pas kumpul keluarga, mulai dari pekerjaan, pasangan, bentuk fisik, dll, yang nggak jarang justru menyinggung
2. Harus bagi-bagi uang ke keponakan yang interaksinya hanya setahun sekali
3. Lebih suka momen Ramadannya
4. Bersih-bersih rumah untuk menyambut tamu itu melelahkan
5. Harus bikin baju seragam satu keluarga
6. Merasa kesepian saat Lebaran, sudah nggak punya orang tua. Biasanya hanya “merayakan” di rumah sendirian.
7. Nggak suka lagi lebaran karena sudah banyak orang tersayang yang pergi duluan
8. Jadi nggak suka lebaran setelah menikah, karena tradisi lebaran di keluarga pasangan sangat asing
Dan lain-lain.
Kemudian, tweet @aliralira itu “dibalas” oleh akun @mazzini_gsp, yang ketika saya menulis artikel ini, followersnya sekitar 220 ribu. Intinya dia mengatakan bahwa kalau nggak suka lebaran ya silakan, tapi nggak usah ngajak-ngajak dengan mengupload poster bertuliskan “ceritakan hal yang paling tidak kamu sukai dari Lebaran”.
“Pengalaman dan lingkungan dia yang jelek sehingga buat dia nggak suka lebaran kok ngajakin orang biar punya perasaan ‘nggak suka lebaran’ kayak dia,” tulis @mazzini_gsp.
Mulai lah di sini saya menemukan komentar-komentar yang berseberang dengan “nggak suka Lebaran”. Beberapa di antaranya:
1. Orang yang nggak suka Lebaran artinya nggak benar-benar meraih kemenangan
2. Jangan malas silaturahmi, terutama pada tetangga, karena pada akhirnya kita akan butuh mereka
3. Kalau keberatan kasih uang ke keponakan, ya jangan ngasih. Nggak usah jadi beban
4. Lebaran adalah cara menyenangkan orang tua, mereka senang ketika anak-anaknya kumpul
5. Lebaran artinya pembagian THR
Dan lain-lain.
Perbedaan pendapat tak masalah
Twitter menunjukkan pada kita bahwa perbedaan akan selalu ada, bahkan untuk “sekelas” momen Lebaran yang selama ini sepertinya jauh dari perdebatan.
Twitter memberi kita kesempatan untuk tahu banyak sisi pemikiran manusia. Sisi yang mungkin nggak kita ekspektasikan sebelumnya.
Buat saya pribadi perbedaan soal Lebaran ini justru ngingetin lagi kalau pada dasarnya banyak orang ingin mengungkapkan komentar-komentar yang cenderung tabu, seperti contohnya tentang “nggak suka lebaran”, cuma belum nemu momennya aja.
Saya termasuk orang yang senang baca-baca komentar di Twitter. Senang dapet banyak pandangan baru. Sepanjang nggak merugikan orang lain, menurut saya nggak ada yang perlu disalahkan. Nggak jarang ketika saya baca satu komen akan satu isu, dalam hati saya akan bilang “iya juga ya”.
Tapi, ketika saya baca komen lainnya untuk isu yang sama, hati saya juga akan bilang “yang ini juga benar”. Laah trus mana yang benar. 😀
Balik lagi mengenai Lebaran, kita jadi tahu bahwa sebagian orang menunggunya, sebagian lain menganggapnya hal yang mengganggu. Kamu yang mana?
Baca juga: Teruslah memberi, teruslah jadi orang baik
Sumber foto: Akun Twitter PT KAI