Lampu Kuning Investasi P2p Lending

investasi p2p-lending sejenak.id

Instrumen investasi p2p lending (peer to peer lending), atau perusahaan-teknologi-finansial-pendanaan-bersama, adalah salah satu alternatif investasi dengan tingkat pengembalian lebih dari 10% per tahun. Terbaca menggiurkan? Memang.


Tapi, bagaimana dengan resikonya? Nah, melalui tulisan ini saya ingin berbagi sedikit pengalaman sebagai orang yang sekitar 2 tahun pernah memilih p2p lending sebagai tempat ‘mengembangbiakkan’ uang.


Kredit macet


Koran Tempo edisi 14 September 2022, dengan headline “Lesu Darah Bisnis Pinjol”, mengupas bahwa bisnis fintech lending sedang terus merugi karena meningkatnya biaya operasional dan rasio pinjaman macet.


Tempo mencatat, berdasarkan data OJK, outstanding kredit macet fintech lending adalah Rp785,94 miliar pada Januari 2022, kemudian menjadi Rp1,21 triliun pada Juli 2022. Meningkat sekitar 43% dalam 6 bulan.


Jika dibandingkan dengan outstanding pinjaman online pada Juli 2022 yang sebesar Rp45,73 triliun, maka rasio kredit macet-nya adalah sekitar 2,6%. Mayoritas kredit macet ini adalah dalam bentuk pinjaman perseorangan.


Dari sisi TKB90 juga menurun dari 97,48% pada Januari menjadi 97,33% pada Juli.


Pilih pendanaan paling aman


Ada beberapa aplikasi p2p lending yang direkomendasikan oleh influencer investasi seperti Investree, KoinWorks, Amartha, Alami, Modalku, dll.


Pada 2019, tepatnya Agustus, saya mulai investasi di salah satu aplikasi p2p lending (dan memang satu-satunya yang saya pakai). Kala itu, di aplikasi tersebut, TKB90-nya masih di kisaran 97%. Namun, sekitar tiga tahun kemudian, pada September 2022, saya cek lagi angkanya turun menjadi 93%.


Berdasarkan laporan Tempo, rata-rata TKB90 p2p lending per Juli 2022 adalah 97,3%. Artinya TKB90 dari aplikasi yang saya pakai bahkan berada di bawah rata-rata. 


Bagaimana sih skema investasi di p2p lending? Sederhananya, aplikasi akan menawarkan sejumlah proyek pendanaan. Investor memilih proyek mana yang ingin didanai. Tenornya berbeda-beda, seingat saya mulai dari 1 bulan sampai 24 bulan.


Saya biasanya memilih tenor maksimal 3 bulan, alasannya agar uangnya bisa lebih cepat diputar kembali dan agar kalau tiba-tiba saya butuh cash, maka tidak perlu menunggu terlalu lama (kalau pendanaannya lancar).


Selain tenornya yang berbeda, kategorinya juga bisa kita pilih. Saya biasanya lebih memilih ke pendanaan untuk pinjaman produktif, dalam hal ini untuk modal usaha misalnya. Saya cenderung menghindari pinjaman konsumtif. 


Intinya, saya selalu mencoba memilih pendanaan dengan resiko paling rendah (yang artinya bunganya paling rendah juga).


Awal-awal investasi terasa menyenangkan. Semua pendanaan dikembalikan sesuai jadwal + bunganya. Hal yang menarik dari p2p lending juga adalah return yang masih di atas deposito atau reksadana pasar uang, atau campuran. Ada di kisaran belasan persen. Dari sisi penarikan uang juga mudah dan cepat.


Sayangnya, enam bulan setelah saya mulai, pandemi datang. Pandemi, kemungkinan besar, menjadi alasan utama mulai tidak lancarnya banyak pendanaan, sering sekali saya menerima email ‘late loan repayment’.


Lalu bagaimana dong dana kita kalo peminjam telat atau gagal bayar? 


Sebenarnya aplikasi akan mengembalikan dana kita sekian persen sesuai perjanjian awal, tapi syaratnya proyek tersebut harus lebih dahulu berstatus default atau gagal bayar (NPL). Nah, masalahnya, untuk sampai di status NPL, butuh waktu sekitar 3 bulan dari jatuh tempo. 


Artinya, kita tidak bisa melakukan apapun dengan dana kita selama masa tunggu 3 bulan itu. Bayangkan, opportunity cost yang bisa diraih jika kita menginvestasikan ke instrumen lain. (Teringat saham SMDR saya naik 100% hanya dalam 5 bulan)


Simulasi pendanaan p2p lending


Misalnya, kita investasi Rp1.000.000 di p2p lending pada 1 Januari 2022. Kita pilih proyek dengan tenor 1 bulan yang bunga-nya paling rendah, katakanlah 12% per tahun (1% per bulan). 


Jika proyek pendanaan itu lancar, sebulan kemudian dana kita akan menjadi Rp 1.010.000 (anggap tidak ada potongan sana-sini). Yuhu! Nambah Rp10.000. Mayan buat beli bakso pinggir jalan. 


Pada 1 Februari 2022, karena nggak jadi beli bakso, uangnya dimasukkan lagi ke p2p lending. Sebulan berikutnya, nambah 1% lagi, dan seterusnya, seterusnya. 


Ini skenario kalau pendanaannya lancar ya. Bagaimana kalau molor atau default? Ya mau tidak mau menunggu pengumuman berikutnya dari aplikasi/perusahaan p2p lending. 


Passive income yang benar-benar pasif.


Baca juga: Prinsip trading forex anti deg-degan


Catatan untuk investor p2p lending


Saya memiliki setidaknya 3 catatan yang mungkin bisa diperhatikan oleh para investor p2p lending. Pertama, harus diketahui bahwa akses investor pada data debitur (peminjam) adalah terbatas. Kedua, lokasi peminjam maupun pemberi pinjaman cenderung masih kota-sentris. Ketiga, p2p lending sulit memiliki ‘kekuatan’ dalam hal margin keuntungan. 


Berikut selengkapnya:


  • Akses terbatas pada data peminjam
    Pemberi pinjaman tidak mendapat akses terlalu detail kepada data peminjam, termasuk proyek yang mereka kerjakan dengan uang pinjaman itu. Setidaknya ini yang saya alami. Sepengalaman saya, investor hanya tahu garis besarnya saja tentang si peminjam dengan iming-iming ‘cap’ dari aplikasi bahwa peminjam X, Y, Z tidak pernah bermasalah.
  • Masih kota-sentris
    P2p lending adalah salah satu alternatif pendanaan untuk yang tidak mendapat akses ke bank. Meski begitu, daya jangkau p2p lending masih belum menyeluruh sampai saat ini, terutama sampai pelosok. Setau saya, p2p lending masih fokus di kota besar atau wilayah dengan akses internet yang luas. Sedangkan, belum semua wilayah terjangkau internet dengan kualitas memadai. Oleh karena itu, terkait alasan ini, saya prefer investasi di saham bank tertentu yang bisa menjangkau sampai ke daerah terpencil, misalnya BTPS atau BRI (dengan PNM di dalamnya).
  • Margin keuntungan yang sulit maksimal
    Semua investor p2p lending pasti dong berharap mendapat return yang (cukup) tinggi. Sepertinya tidak mungkin investor mau memberi pendanaan jika dia hanya mendapat return 1% per tahun atau bahkan di bawah 1%. Hal ini menjadikan perusahaan p2p lending tidak bisa memaksimalkan margin dari sisi ini, seperti halnya perbankan (khususnya bank-bank dengan CASA yang tinggi)

Apa yang diberitakan koran Tempo dan apa yang saya alami, menjadi tanda bahwa sekarang sepertinya waktu yang kurang tepat untuk investasi di p2p lending. 


Mungkin sebaiknya menunggu sampai kondisi ekonomi lebih stabil atau saat jaringan internet berkualitas sudah menjangkau wilayah Indonesia lebih luas lagi. Karena alasan-alasan di atas juga, pada awal 2022 lalu, saya pun memutuskan untuk berhenti mendanai dulu, entah berhenti sejenak atau seterusnya.


Saat ini saya memilih fokus di saham dan reksadana untuk investasi jangka panjang, yaa sambil sesekali trading forex kalau suasana hati memungkinkan.

 

Disclaimer: Artikel ini hanya untuk berbagi pengalaman, bukan ajakan melakukan atau tidak melakukan investasi tertentu. 


Baca juga: Saham SMDR multibagger, profit 335%


Photo by Markus Spiske on Unsplash

Bagikan artikel ini
Terbaru
seneca

Luck is what happens when preparation meets opportunity

- Seneca -
Mau dikirimin artikel terbaru dong!

Jumlah TikTokers di Indonesia lebih dari 100 juta akun, salah satu yang terbanyak di dunia. Saya seakan tidak punya alasan untuk melewatkan TikTok sebagai media belajar dan sharing. Jadi, ketemu di sana juga yuk!

RINA

I’m a blogger, football fan, and lifelong learner.

KENALAN YUK

Jika merasa konten di sini bermanfaat, minta tolong di-share ya artikelnya. Saya juga terbuka kalau teman-teman ingin berdiskusi.

kirim email